“... ... ... ... ...”
Ah, benarkah ini? Kau mengatakannya.
Sudah sangat cukup satu kali itu saja.
Menyadari
bahwa kau telah memintaku untuk tidak menghubungimu lagi itu seperti mendengar suatu
ancaman, seperti “Aku akan membunuhmu”. Sama menakutkannya meskipun dengan efek
yang berbeda.
...
Padahal aku sudah
berusaha maksimal untuk bersikap sebiasa mungkin. Bahkan sangat biasa. Aku
bersikap padamu sama seperti ketika aku bersikap pada temanku yang lain.
Sungguh, dari hati yang paling dalam dan dengan niat yang sudah aku
lurus-luruskan dengan sekuat yang bisa
aku capai, berusaha menyingkirkan segala bentuk niatan negatif dalam hati atau
pikiran meskipun itu hanya sedikit. Aku sudah berusaha. Sungguh, aku sudah
berusaha.
Aku
mengharapkan tidak akan pernah terjadi keadaan yang seperti ini. Sangat tidak
kuharapkan. Aku... Aku jadi ingat semua yang indah-indah dulu. Cuplikan film
kehidupan ketika terjadi suatu masa yang menyisipkan tokoh aku dan kau.
Beberapa episode itu adalah indah. Seharusnya yang seperti itu tidak musnah.
Aku ingin... Aku ingin dapatkan lagi saat-saat seperti itu.
Kapan
ini dimulai? Siapa pula yang telah meng-klik tombol start untuk memulai kelanjutan episode film kehidupan yang sangat
tidak indah ini dalam hidupku? Ingatkah...?
Aku
tidak senang ini terjadi. Aku benci... Ingin aku bisa merubah keadaan ini menjadi
kembali baik. Dimanakah tombol finishnya?
Beri tahu aku. Apa yang harus aku lakukan?
...
Siapa
aku untukmu dan siapa kamu untukku? Ingatkah?
Kenapa
kita tidak seperti itu lagi sekarang? Kenapa? Tidak bisakah aku atau kau
mengembalikan posisi kita masing-masing menjadi pemeran tokoh yang tepat
seperti dulu itu?
Seharusnya
bisa. Aku sudah memulainya beberapa kali. Tapi aku tidak melihat kau
melakukannya. Kau malah membiarkan tali yang telah aku lemparkan kearahmu
menjadi terkulai tanpa arti kearah tanah karena ujung talinya tidak pernah kau
tangkap. Mungkin... Kelak untaian talinya akan tertutup debu-debu yang menebal,
sehingga tali terlihat seperti lama-lama terkubur tanah.
Tahukah
kau? Detik ini aku menangis. Aku menyesalkan diriku yang tidak mampu
memperbaiki hubungan ini.
Tahukah
kau? Detik ini tetesan air mata pertamaku telah lepas melewati pipiku. Dan,
“...tess...”. Sempurna. Aku menangis.
...
Hey... Aku jadi rindu
padamu. Karena hal ini, aku bisa melihat bayangan bahwa aku tidak bisa
bersamamu lagi. Maksudku, kita tidak sedang dalam hubungan yang baik-baik saja.
Maksudku, apakah sekarang ini kita bermusuhan?
Apakah... Apakah aku
hanya menjadi pemain figuran yang akan lewat sebentar saja di dalam sedikit
episode film kehidupanmu? Dan apakah...
Apakah kau hanya pemain figuran yang akan lewat sebentar saja di dalam sedikit
episode film kehidupanku?
Ah... Sebentar
sekali. Terlalu indah permainan kita sebagai pemain figuran yang hanya lewat
sebentar saja dalam episode kehidupan kita masing-masing; kau dalam hidupku dan
aku dalam hidupmu. Itu indah, tapi hanya sebentar, kemudian terlewatkan dan
terlupakan.
Tahukah kau? Detik
ini air mataku sudah mengering. Sudah cukup aku menyayangkan hal ini terjadi.
Aku tinggal hanya berpikir. Berpikir untuk sesuatu yang tidak terpikirkan.
Kosong.
...
Seharusnya aku
menyalahkanmu atas semua ini.
Tapi, aku tidak akan
pernah melakukannya.