Half Purple and Blue Butterfly

Minggu, 13 November 2011

Anak Ini


Sketsa Rumah Anak Ini

………MAAF, SAYA SEDANG TIDAK BERSEMANGAT MEMBUAT AWALAN CERITA………
(ketik tik tik)…………….………………………………………………………………….
...dgfdhsv…dsvZffhdflfi….fyaddlo….dfguIgd….dde.ggqrfAejuy…shrythYng..raghhj….
LsdhuqSwfxnxhjiosdgklpsdnjcgioCsdflbfsdpfreyrqwyWxnmcvpoervbsdasdprSwvrbcksd
…….………………………….………………………………………………(ketik tik tik)
………MAAF, SAYA SEDANG TIDAK BERSEMANGAT MEMBUAT AWALAN CERITA………

Langsung aja, ya...!


            “ Wow, ini semua gambar buatan kamu ? “
“ Iya “
“ Subhanallah, bagusnya… Ini kamu berbakat banget. Kamu jago, ya, buat gambar manga kayak gini. Aku aja tuh gak bisa, lho, Dek “ Ungkapku.

Kemudian aku melihat-lihat semua isi buku gambar anak ini. Sampaik akhirnya aku menemukan sebuah gambar yang menarik perhatianku di halaman urutan kedua dari belakang.

“ Wah, ini sketsa rumah ya?! “ kataku. “ Bagus banget. Siapa yang buat? Kamu? “ Tanyaku pada gadis cantik berusia sekitar 9 tahunan itu.
            “ Iya “ Jawabnya.
            “ Ini gambar sketsa rumah kamu, bukan ? “
            “ Iya ! “,  kemudian “ Nanti “. Lanjutnya.

            Wow…! Aku takjub. Aku melihat ke arah anak ini secara cepat. Wajahnya tampak biasa, seakan apa yang telah dia katakan barusan itu tidak mengandung arti apapun, tapi juga terlihat seperti ada keyakinan diwajahnya. Raut wajah anak ini seperti berkata, “Yah, memang itu yang akan terjadi. Apa yang ada dalam gambar ini adalah rumahku nanti “, seperti itu nampaknya.

            Tanpa banyak berkata, kemudian aku…

             “ Nama saya Suzi “ Kataku sambil mengulurkan tangan.

Anak ini mengulurkan tangannya agak ragu, tapi kemudian menjabat tanganku. Dan tersenyum kecil.

Kemudian aku melanjutkan,

“ Selamat ! Gambar ini memang akan menjadi rumahmu nanti ! “ Akhirnya.

Anak ini tersenyum lagi. Lebih lebar dan lebih lama. Tapi kemudian aku beranjak bangun untuk segera sholat Dhuhur, setelah beberapa saat menunggu giliran untuk mengenakan mukena. Hal ini biasa dilakukan ketika akan sholat di Al-Hurriyah saat sedang ramai jamaahnya, karena persediaan mukena yang terbatas, maka mukena yang ada dipakai bergantian.

Setelah selesai sholat. Aku melihat anak itu sudah tidak ada ditempatnya tadi ketika berbicara denganku.
           

Cerita, ah...


Bocah Ini Mengesankan

            “Assalamu’alaikum wr. wb” Ke kanan, “Assalamu’alaikum wr. wb” Ke kiri.

            Baru saja aku selesai menunaikan shalat Dhuhur di masjid Al-Hurriyah. Belum sempat aku berdoa. Tiba-tiba, 3 detik kemudian …

            “Kak, kak…!“ Seorang gadis kecil nan manis yang duduk disebelah kananku segera menyapa dengan nada cepat.
            “Iya, kenapa?”, kataku dengan senyum, agak cepat pula.
            “Kak, emangnya kalau ibu-ibu sholatnya kapan sih ?“ tanyanya dengan wajah penuh tanya dan terlihat begitu polos.
            “Hah ???“

Aku bingung dengan pertanyaan anak ini. Tapi aku juga berpikir tidak ingin membiarkan anak ini begitu saja dengan rasa penasarannya untuk ingin tahu dan keantusiasannya untuk bertanya. Apalagi, tiba-tiba beberapa temannya ikut menghampiri, 5 anak kalau tidak salah ingat. Aku berpikir, “Wah, bakalan ada banyak pertanyaan nih. Kudu hati-hati ngejawab. Kalo nggak, gawat nanti kalo mereka salah tangkep jawabanku“. Maka aku pun menjawab petanyaan-pertanyaan anak ini yang agak membingungkan itu.

“Iya. Ini kok ibu-ibu gak ada yang sholat ya, kak?“. Tanyanya mengulang pertanyaan sebelumnya tadi yang belum aku jawab dengan perubahan kalimat.
“Oh… Ya mungkin mereka sekarang lagi dijalan, dek. Untuk sholat kesini“ Jawabku sambil tersenyum. Padahal aku sendiri tidak tahu siapa yang aku sebut mereka, dan juga tidak yakin kalau diluar sana memang ada yang pantas aku sebut ‘mereka’, yaitu ibu-ibu yang akan datang ke Al-Hurriyah untuk sholat Dhuhur.
“Oh…” wajahnya agak puas dengan jawabanku. “Kak, itu kok kakaknya yang sholat itu gak pake kerudung, Kak ? Ayahnya untadz dan ulama, tapi kakak itu kenapa gak pake kerudung? Kenapa, Kak ?“. Lanjutnya bertanya, sambil menunjuk beberapa mahasiswi yang memang tidak mengenakan kerudung, mereka  baru saja selesai sholat.

Aku. Tidak tahu. Bingung. “Ya Allah, maksud pertanyaan anak ini apa? Aku benar-benar tidak mengerti. Aku tidak bisa menangkap maksud pertanyaan anak ini dengan jelas” Kataku dalam hati. “Allah, Aku jawab seadanya saja, ya…” Kata hatiku lagi.

“Hhm, mungkin kakaknya belum terbiasa, Dek” Jawabku seadanya.
“Kalau ana udah biasa, Kak” Kata anak itu.
“Wah, alhamdulillah kalo gitu, ya…” Aku tersenyum.
“Ana juga, kak“ Kata anak yang lain.
“Ana, kak. Ana juga udah biasa. Ana kalo main sama temen ana, ana pake kerudung, tapi temen-temen main ana gak pake kerudung“ Kata yang lainnya lagi

Sempat berpikir, “Hah, ini anak apa semuanya namanya Ana ?”,  tapi kemudian tersadar bahwa mereka sebenarnya menyebut diri mereka Ana yang maksudnya adalah aku atau saya dalam bahasa Arab. Kemudian berkata lagi dalam hati “Oh, rupanya anak-anak ini terbiasa mengenakan istilah bahasa sehari-hari dengan bahasa Arab”.
Kemudian, aku merasakan hatiku bergetar entah kenapa. Ada perasaan malu. Sepertinya aku malu pada Allah. Entah karena apa?.

“Kalau ana belum terbiasa, kak. Tapi kalau pergi-pergi ana pake kerudung“ Satu dari mereka mengakui.
“Iya, kak. Dia mah pake kerudungnya nggak terus-terusan, kak” Yang lainnya berbicara padaku, “Ana, pernah lihat antum gak pake kerudung waktu main keluar rumah” lanjutnya pada anak yang dengan pengakuannya tadi. Anak yang tadi dengan pengakuannya pun hanya tersenyum-senyum saja.
“Hhm, gapapa kok. Kita kan masih belajar. Yang sudah terbiasa dilanjutkan dan yang belum terbiasa coba mulai dibiasakan. Ya…!“ Kataku. Aku mulai merasa lega karena sepertinya pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan seperti tadi itu tidak akan terlontarkan lagi dari mulut-mulut mereka yang mungil, lucu dan bawel-bawel ini. Alhamdulillah. Soalnya aku khawatir akan salah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

“Iya“. Jawab mereka agak serentak.

Diam 3 detik. Kemudian…

“Kak, ruangan kuliah dimana?“ Yang tadi bertanya, bertanya lagi
Aku. “Ya Allah, apa lagi ini?” Dalam hati. Akhirnya aku menjawab, “Ruangan kuliah banyak, sayang” Kataku.
“Punya kakak?“
“Oh, aku SMA. Di SMA Kornita“
“Oh“
“Kalian dari SD mana? Sekolahnya…“
“Insan Kamil“
“Oh“ kataku ber-Oh

Diam 5 detik. Kemudian bicara lagi…

“Kak, aku mau mabit“
“Wah, dimana ? Disini ?“ Aku bertanya
“Iya“

Mereka berdialog tidak mengajakku,

“Ana, mau ikut mabit, dong. Dibolehin sama ummi ana“ Si A memulai.
“Ana juga dibolehin“ Katanya B. “Eh, antum mau ikut?“ Tanya si B pada C.
“Iya, ana juga ikut“.Kata C menjawab pertanyaan B.
“Ana, gak ikutan. Nanti dijemput pulang sama abi ana“ Lanjut si D.

Aku menyela pembicaraan mereka dan memulai lagi…

“Ih, aku pengen ikut. Boleh gak ?“
“Ikut aja, kak. Tapi nanti serem, kak. Malemnya bangun jam dua“ Katanya
“Iya, kak, ikut“ Yang lainnya. “Ikut, kak“ Lain lagi.
“Wah, seru itu mah. Gak serem, Dek“.
“Iya“ Tiga orang mengiyakan agak serentak.

Kemudian…

“Ssst, ssstt, sssttt… Ayo ayo ayo”

Seseorang memerintahkan mereka untuk segera turun. Wanita. Dan orang tersebut melihat ke arahku dengan mimik wajah seperti bertanya dalam hatinya, seperti ini “Siapa dia ?“. Menurutku ibu itu adalah salah satu guru mereka. Melihat pakaian dan gaya ibu itu, sepertinya cukup mencirikan bahwa dirinya adalah guru anak-anak itu. Kemudian mereka pun pergi begitu saja.

Dan…

“Dadaaah, kak“. Kata anak yang tadi banyak bertanya itu mengakhiri pembicaraan sambil berdiri dan segera pergi turun dengan berjalan sedikit berlari.
“Daaah“ Aku pun.

Selesai sudah pertemuan singkat itu dengan mereka. Aku melepaskan mukena. Dan segera beranjak untuk kembali ke sekolah.  

Musikalisasi Puisi Lagi


Guruku

Wahai kau guru-guruku
Aku sangat hormati dirimu
Cintai dan menyayangimu
untuk slama-lamanya

trimakasih ku ucapkan
atas ilmu yang telah kau beri
tak terhitung semua jasamu
oh begitu indahnya

ku nikmati semua, cintamu
cintamu yang telah kau beri
kepada diri ini

oh kau guruku, maafkan
maafkan semua kesalahan
kesalahan yang tlah ku buat

guru-guruku ku mohon
janganlah pernah kau lupakan
lupakan diri ini

sungguh ku mohon
cintaiku sbagai muridmu
di NUFA Nurul Fajar ini

Musikalisasi puisi. Puisi ini diciptakan oleh saya dan seorang teman bernama Renida, dinyanyikan dengan nada dari lagu Langkahku, milik Zahra Damariva. Namun nadanya tidak berurutan, ada bagian nada yang terlewat ketika menyanyikan lagu tersebut dengan puisi ini.


Musikalisasi Puisi


Rasa tak berarti

Terlihat diri ini
Berubah tumbuh dewasa
Hati dan raga penuh coretan
Hitam jatuh pada putihnya

Oh tuhan apakah ini
Mengusik bayang-bayangku
Datang dan pergi begitu halus
Rasa tak berarti

Dia yang datang mengganggu setiap hariku
Indah terasa tapi tak tenangkan jiwa

Bayang-bayang dirinya hiasi setiap lamunku
Senyum kecil ku tersipu malu terusik karnanya

Tuhan tolonglah bantuku menjaga hati
Ku hanya ingin tinggikan cinta pada-Mu

Oh tuhan cintaku pada-Mu takkan tergantikan
Oleh cintaku padanya


Musikalisasi puisi. Puisi ini diciptakan oleh saya dan seorang teman bernama Renida, dinyanyikan dengan nada dari lagu Bunda, milik Melly Goeslaw. Namun nadanya tidak berurutan, ada bagian nada yang terlewat ketika menyanyikan lagu tersebut dengan puisi ini.